Langsung ke konten utama

Hal Yang BISA Menyingkirkan Musisi Dengan Perlahan?

Cuaca pagi itu sangat sejuk, hujan semalam membuat udara terasa lebih "cozy" dari biasanya. Saya bangkit dari tidur dan sholat subuh. Ngopi di pagi hari adalah kebiasaan yang selalu lakukan.

Saya nyalakan komputer saya dan mulai mengetik seperti saat ini, dan tentu saja sambil membuka aplikasi youtube music dan memilih lagu-lagu yang ingin saya dengar di pagi itu. 

Berbeda dengan beberapa puluh tahun lalu dimana ketika aktivitas mendengarkan musik dengan media radio. Lagu yang diputar di radio tentu saja tergantung dari penyiar yang sedang bekerja saat itu.Tidak berbeda dengan televisi, Radio juga memiliki jadwal siaran yang berbeda.

Radio tertentu mereka memiliki jadwal siaran yang memutar lagu-lagu yang sedang hits pada saat itu. Dan seperti stasiun televisi, Radio juga memiliki program-program lain hingga larut malam. Jadi tidak hanya lagu-lagu hits, namun juga ada tembang-tembang lawas atau bahkan podcast dan siaran tentang berita terbaru.

Sangat berbeda dengan hari ini, media informasi baik itu sekilas info ataupun hiburan musik yang bisa langsung di akses melalui internet. Ketersediaan internet juga tidak serta seperti sekarang ini. Dimana awalnya jaringan itu hanyalah Edge ataupun 3G.

Tidak jarang juga feature yang dicari ketika mobile phone menjadi populer adalah ketersedian radio, yang mana saat ini bisa dibilang hampir tidak ada di smartphone karena kalaupun ada, itu merupakan media radio streaming.

Sama halnya dengan televisi, orang akan lebih banyak menonton youtube, netflix atau sejenisnya. Dimana layanan-layanan streaming ini digemari karena mudah di akses dan bisa dinikmati hanya melalui smartphone.

Sebagai consumer tentu hal ini menjadi hal yang baik, layanan streaming musik streaming pada khususnya bisa di akses dengan cukup murah, bahkan aplikasi streaming juga yang masih menawarkan layanan gratis dengan menyertai iklan diantara lagu-lagu yang diputar, yang mana ini tidak berbeda dengan Radio konvensional.

Dibalik semua itu ada fakta hal positif dan negatif, terutama dari sudut pandang musisi. Sebagai perbandingan, di era Radio, karya dari seorang musisi tidak bisa langsung mengudara di radio. Jika musisi tersebut adalah musisi independen, maka akan ada proses seleksi yang cukup ketat dari pihak radio, apakah layak lagunya diputar di Radio. 

Beberapa radio sangat "welcome" terhadap musisi independen, seperti Prambors dan MTV (iya, dulu masih ada MTV radio yang akhirnya berganti nama  menjadi i-Radio). Walaupun begitu, kualitas dari karya musisi dan hasil rekaman dari musisi jadi penentu juga apakah lagu-lagunya bisa diputar dan diperdengarkan ke masyarakat umum.

Begitu juga dengan musik bisa didengarkan secara nasional melalui jalur Label rekaman besar, seperti Sony, EMI dan sejenisnya. Tentu Label tersebut akan melakukan seleksi yang super ketat. Karena musisi yang mereka pilih untuk dirilis albumnya harus dipastikan bisa terjual dan mendapatkan keuntungan buat Label tersebut dan tentu saja keuntungan buat musisinya.

Bagaimana dengan saat ini, dimana dengan bantuan teknologi seseorang dengan mudahnya membuat musik, dan menguploadnya secara online. Saking mudahnya, hampir tiap orang  hanya dengan bantuan AI saja bisa merilis sebuah karya.

Hampir tidak ada proses seleksi yang dialami. Walaupun pada akhirnya hanya karya yang mencuat kepermukaan adalah karya-karya yang juga baik.

Highlight yang ingin saya utarakan adalah bagaimana sebuah proses yang dilalui musisi itu sendiri. Ketika sebuah band atau musisi berhasil diputar di Radio atau bahkan mendapatkan kontrak dari Label dan berhasil merilis album menjadi sebuah pencapaian yang tidak semua musisi bisa dapatkan.

Cukup menyedihkan untuk melihat hal ini terjadi sekarang. Untuk band-band yang berhasil dimasa lalu bisa jadi masih mendapatkan efek yang baik di saat ini. Namun ada hal lain yang selain rilisnya sebuah album dari seorang musisi adalah penjualan dari Album itu sendiri. Sedangkan musisi-musisi baru bisa jadi hanya sebuah penggembira atau hanya menitipkan karyanya sebagai dokumen di media streaming tersebut.

Dan hal ini umunya berbanding lurus dengan ketenaran dari musisi itu sendiri. Seorang musisi bisa mendapatkan penghasilan dari satu gig (baca: manggung) ke gig lainnya dan musisi yang memiliki album bisa mendapatkan penghasilan dari penjualan album mereka.

Media streaming juga memberikan bagi hasil ke musisi, namun banyak yang menganggap hal ini tidak sepadan dengan apa yang mereka kerjakan di studio rekaman, dan tentu cuan yang didapat dari streaming tidaklah begitu besar jika dibandingkan dengan penjualan album fisik jaman dulu.

Covid-19 yang melanda dunia juga memiliki efek yang tidak kalah besar bagi para musisi. Musisi yang bertahan hidup dari panggung, baik itu musisi papan atas hingga yang memulai dari band-band reguler di cafe terkena dampaknya. Hal ini juga yang membuat trends di musik berubah secara drastis. 

Trends masyarakat dalam mendapatkan hiburan melalui musik yang umumnya mereka dapat di sebuah konser menjadi bergeser. Bisa kita lihat di tahun 2025 dimana 4 tahun semenjak serangan virus tersebut, gig-gig di kota Jogja (khususnya) belum begitu banyak padahal di tahun 2000-an hampir tiap weekend ada acara-acara gig yang di sudut atau kampus-kampus, dan acara gig besar yang bisa ditemui hampir tiap bulannya.

Tapi saya mash berharap bahkan musik Indonesia kearah yang lebih baik, dan di masa yang akan datang orang akan jenuh dengan dunia streaming dan mencari hiburan dengan menonton musisi tersebut tampil sebagai support pada musisi lokal. Musisi lokal harus lebih sering tampil bahkan dengan membuat acaranya sendiri sehingga lebih dikenal oleh komunitas, jadi tidak hanya berharap membuat karya dan merilisnya di platform digital.

Pada akhirnya seorang musisi memang sejatinya wajib menampilkan karyanya dan perform sebagai tanggung jawab label bagi mereka sendiri yaitu seorang musisi.

Semoga bermanfaat.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa itu Lick, Riff, Pattern?

Belajar musik sebenarnya mirip dengan bahasa Indonesia. Prinsip tentang pengenalan lick, riff dan pattern . Jika dalam bahasa Indonesia, Inggris atau bahasa apapun kita mengenal adanya huruf, begitu juga dengan musik, kita mengenal nada. Dari nada-nada yang tersusun ini bisa membentuk sesuatu yang dinamakan lick , riff dan pattern . Namun ketiganya berbeda. Dari identifikasi ketiganya dapat berfungsi dalam pengembangan permainan solo, melody, hingga pencipataan lagu. Pattern disebut juga dengan motif, jika didalam bahasa Indonesia/Inggris sebuah huruf yang terangkai bisa menjadi sebuah kata. Contoh kata "aku", sedangkan di musik, 2 atau 3 nada saja bisa menjadi sebuah motif atau pattern , semisal, do - mi - sol,  re - mi - do, atau mi - fa - sol - do. Ibarat kalimat pada bahasa Indonesia/Inggris, riff adalah kalimat di lagu, penggabungan dari 2 motif ( pattern ) atau lebih, biasanya riff terbentuk dari 1 hingga dua bar. Penciptaan riff ini sendiri biasanya penge...

Membedakan Teknik Apoyando dan Tirando

2 teknik dasar pada permainan gitar klasik adalah apoyando dan tirando. Dua teknik ini menjadi acuan yang biasanya di latih pada berbagai scale. Namun ada beberapa hal yang saya cermati dari dua teknik ini. Pada sebuah piece kebanyakan para gitaris lebih banyak menggunakan teknik tirando dikarenakan notes yang di mainkan dalam satu ketukan lebih dari dua nada. Tapi sebelum lebih jauh, saya akan menggambarkan secara sederhana yang membedakan dua teknik ini. Apoyando disebut juga rest stroke . Artinya ketika jari tangan kanan memetik senar, misal dengan jari i (telunjuk) maka jari setelah memetik senar akan menempel pada senar di atasnya (beristirahat/ rest ). Contoh, ketika jari memetik senar 1, setelah memetik jari akan beristirahat di senar 2. Jika senar 2 dipetik maka setelah memetik, jari akan beristirahat di senar 3, begitu seterusnya. Teknik ini banyak di gunakan pada single note , atau berfungsi memberikan accent atau tekanan untuk melodi tertentu. Lain hal dengan tekni...

Cara Memilih Gitar Untuk Anak Usia Dibawah 12 Tahun

Beberapa bulan terakhir banyak sekali yang menanyakan kepada saya, apa gitar yang cocok untuk anaknya? Dimana usia anak mereka di rentang usia 6 tahun hingga 12 tahun. Sedikit tricky untuk memilih gitar untuk anak usia 12 tahun. Namun satu hal yang jadi pertimbangan adalah kenyaman. Hal ini akan menjadikan anak untuk giat belajar gitar. Jika si anak merasa instrumennya tidak nyaman untuk dimainkan, ini bisa jadi mengurangi semangat dia untuk berlatih setiap harinya. Kenyamanan yang seperti apa? Yang pertama adalah pilih gitar yang dengan ukuran yang sesuai dengan fisiknya. Misalkan si anak memiliki fisik yang kecil, misal si anak masih berusia 6-8 tahun, tidak ada salahnya membeli gitar dengan ukuran 1/2, secara fisik otomatis gitar ini lebih mungil dari ukuran gitar standar, dan skala yang diberikan juga lebih pendek, karena hal ini memudahkan anak dalam memainkannya. Dengan skala yang yg lebih pendek maka senar akan terasa lebih empuk untuk ditekan dibanding ukuran gitar full size. J...